1/22/14

Secarik Acuh Kekecewaan


Kepadamu, si tampan pengacuh.

Elemen paling menyakitkan dari percintaan adalah diacuhkan. Rindu yang telah kusampaikan belum juga berbalas. Gelisah menunggu balasan, hanya membuatku geram akan pengharapan. Merindumu sangat menyiksa kalbu, namun ada yang lebih menyiksa; menyampaikan namun diacuhkan.

Aku tidak sedang membahas tentang seberapa banyak kesabaran yang kuhabiskan untukmu, tapi tentang seberapa kuat aku bertahan pada seseorang yang mampu membuatku betah berlama-lama dengannya, tak peduli seberapa acuh sikapnya padaku.

Padamu, bisakah kau singkirkan tatapan dingin yang sejak tadi menusuk mata ini? Aku tak tahan akan gigil yang aku rasakan saat kau acuhkan. Aku mencoba untuk melawan angkuhnya ego ini yang selalu membangkang untuk mengalah. Namun aku lakukan hanya untuk memahami sifat acuhmu.

Padamu, bisakah kau hargai aku disini? Usahaku menghidupkan suasana yang kukerjakan secara cuma-cuma terasa sangat sia-sia. Menciptakan seringai senyum pada bibirmu adalah sesuatu yang sangat sukar untuk kulakukan. Bisakah kau anggap adanya kehadiranku disini? Aku seakan hanya menjadi bayang semu yang merugikan bagimu.

Padamu, bisakah kau berhenti mengacuhkanku? Aku tahu, mencintaimu tak pernah mudah. Menerka segala rasa dengan asa. Mencoba memahami karena rasa takut kehilangan yang sangat menguasai hati. Berusaha menghargai seakan tak ada yang bisa kuhindari. Mencoba menerima apa adanya karena cinta. Namun, acuhmu membuat pilu hatiku.

Aku tidak sedang mengeluh, sayang. Pun aku tidak sedang menghitung seberapa banyak kesabaran yang kumiliki. Karena aku tahu, cinta bukan tentang seberapa banyak kesabaran yang kau miliki untuk menghadapi sang pujaan hati, tapi tentang seberapa besar kekuatan cinta yang kau miliki untuk menjinakan segala aral hati.

Kepadamu, si tampan pengacuh, maaf jika aku terlalu banyak menuntutmu ini itu.