12/29/13

Rumitnya Melupakan dan Mengikhlaskan

Senangnya bisa kembali ke secarik kertas digital ini. Kertas digital yang telah lama membendung keluh kesah dan gundah gulananya hatiku, yang kebanyakan berisi tentang kamu.


Hari ini aku belajar banyak tentang makna mencintai. Kata orang, mencintai itu tak harus memiliki. Kalimat yang selalu terpapar dari mulut orang yang baru saja gagal mendapatkan pujaannya. Padahal keegoisan bisa menaklukkan segalanya, terutama kalimat tadi. Yang harusnya mengalah, malah membantah. Keras kepala membutakan mata, keras hati ingin memiliki orang yang sudah memiliki.
Sudahkah kubilang bahwa cinta kadang tak kenal logika? Cinta kadang tak berlogika. Melakukan hal bodoh hanya untuk memikat perhatian sang pujaan, rela disakiti demi dicintai, bahkan sekalipun telah dikhianati, tetap saja mencintai.




Ah, cinta. Betapa semua hal tak berlogika menjadi terasa istimewa.

Mencintai artinya satu langkah lebih dekat dengan patah hati. Mencintai artinya mengambil resiko dicintai kembali atau mungkin disakiti. Mengapa? Karena pengharapan selalu satu horizontal dengan kekecewaan. Semakin besar sebuah harapan, maka semakin besar pula kekecewaan yang akan didapat.
Berbicara soal cinta, tak akan ada habisnya. Aku tahu benar teori soal cinta, namun satu yang tak aku tahu; cara mengikhlaskan.

Apa bagian terpahit dari mengikhlaskan? Adalah melihatnya bahagia bersama orang lain. Kebahagiaan yang pernah menjadi elemen penting dari kita dulu, kini terebut oleh kehadirannya, orang yang kini mengambil alih posisiku di hatimu. Lengkung senyum yang harusnya kau hadirkan untukku, malah kau beri secara cuma-cuma untuknya. Gelak tawa yang biasanya mengisi lorong telingaku, kini tergantikan oleh suara udara yang berhilir sepi.

Beberapa taulan menyarankan untuk mencari pengganti. Jangankan mencari pengganti, mengikhlaskannya saja cukup memakan hati. Oleh sebab itu aku berhenti mencari pengganti, aku takut banyak korban sakit hati karena pelampiasan hati ini.

Akhirnya hati ini terkapar lemas, tak menemukan cara mengikhlaskan. Mencoba melupakan, kenangan terus membayang bertahan. Mengapa melupakan selalu menjadi skema hidup yang melelahkan? Mengapa beberapa insan diwajibkan melupakan jika pada awal pertemuan diadakan perkenalan? Dan mengapa melupakan serumit ini, Tuhan?

"Mungkin karena kau memaksa untuk melupakan, bukan ikhlas melepaskan."