1/22/14

Halaman Kerinduan

Ditulis pada 21 Desember 2013,
oleh Dhiya.

Halaman demi halaman aku tulis, atas nama kamu. Kutorehkan pena pada lembaran-lembaran baru yang masih hampa tak ada goresan. Aku tidak pernah lelah mengguratkan pena kisah kita bertintakan kenangan. Mewujudkannya dalam bentuk alinea pada setiap kisah, menjadikannya cerita pendek berisikan tentang aku dan kamu.

Aku merindukan ini. Melewati pergantian hari bersama sambil kau temani aku menulis pada halaman-halaman baru. Aroma cokelat panas menyeruak dalam ruangan ini. Secangkir cokelat panas yang kupesan dua jam yang lalu sudah mulai dingin, sama sekali belum ku sentuh saking sibuknya berkutat dengan aksara. Alasan memesannya masih sama, karena hidup ini sudah terlalu pahit untuk sekedar mencicipi secangkir kopi hitam lagi. Dulu, ini sempat menjadi kebiasaan. Namun kebiasaan ini menghilang semenjak kau angkat kaki dari hati ini.

Sekuat apapun rindu yang kupendam, tak akan bisa mengalahkan kuatnya harapan pertemuan.


Malam ini sangat hangat, aku bisa merasakan surat nestapa yang tak tersampaikan dari paras wajahmu. Ditemani guyonan konyolmu, aku mulai menulis lagi. Kita jarang bisa seperti ini, yang kuingat, kita adalah dua insan yang saling mengenal tapi berusaha mengasingkan diri. Sama-sama memiliki kepala sekeras batu. Jika rindu mulai tunduk, gengsi tak pernah melutut. Selalu memendam hingga akhirnya meledak menjadi isak. Sebab itu, malam ini kuhabiskan waktu berdua bersamamu, hanya demi memanjakan rindu.

Menertawakan kelakuan bodoh kita di masa lampau, mulai menjadi kebiasaan kita sejak kini. Aku suka seri di wajahmu, sangat mengingatkanku pada keindahan silam. Seringaimu malam ini sangat menyamankan hati, membasuh luka yang telah lama terobati, dan memaksa membuka kembali album kisah kita yang telah berdebu.
Kita tertawa, seakan tak pernah ada luka diantara kita. Melepaskan ikatan kegengsian yang telah lama melilit sanubari ini dengan tawa lepas. Siksa batin yang lama kurasa mulai memudar saat menyadari ada kamu dihadapku. Kamu disini, menemani malam yang biasa sepi, kini tak lagi menjadi sepi.

Kamu datang, disaat aku benar-benar lelah mencari jalan pulang, bahkan aku pun tak tahu harus pulang kepada siapa. Aku bertemu denganmu, seakan aku menemukan setitik cahaya penerangan ke arah jalan pulang. Kamu menuntunku pada sebuah rumah yang tak asing lagi bagiku. Ah jelas saja, aku pernah singgah disini dulu. Kamu membantuku mengobati luka yang telah lama membusuk, pun menawariku untuk singgah lagi.

Namun maaf, aku tak butuh tempat singgah, yang kubutuhkan adalah rumah untuk kembali merajut kisah.