9/22/13

Hujanku di Ambang Senja

Ada segurat rindu yang terpendam menjadi belenggu, dan bahkan kini telah berambigu.


Senjaku kini muram, tak mau menampakan awan berarak jingganya. Langit begitu setia membuatkanku bulir-bulir air hujan. Hembusan angin menyisir kulit disekujur tubuhku. Dingin telah memenangkan udara hari ini. Serupa dinginnya tatapan kesunyian dan kepedihan. Gertakan gigiku membuatku mendekap lutut, aku menggigil.

Hujan seakan menyelamatkanku dari gersangnya kerinduan ini. Membasahi ruang di hati dengan segala pecahan rintikannya. Mengingatkanku untuk segera tersadar akan nyatanya dunia. Saking sudah terlalu lamanya merapuh, hingga lupa bagaimana caranya kembali tegak.

Kegersangan yang telah lama meradang ini sempat membuatkanku sebuah lorong kebencian. Aku geram terlalu lama berkutat dalam skenario menjemukan ini. Aku muak bernostalgia dengan kenangan yang sama. Menguraikan kenangan dengan perinci, tak ingin ada satu perihal yang tertinggal.

Tuturanmu sempat tertinggal dalam telingaku. Menggumam setiap aku mengingatmu. Merusak setengah kesadaran jiwaku saat suara itu bergumam. Menggelarkanku permadani merah menuju ruang masa lampau. Mempersilahkanku membaca lembar demi lembar koran omong kosong yang sempat menenunkanku beberapa kalimat bermakna bak pujangga. Ah sial, lagi-lagi aku menghujatnya.

Akalku terbakar api kerinduan yang kini gersangnya telah menghujam. Panasnya terasa hingga ujung ubun-ubunku. Ternyata sudah selama ini aku tersungkur dalam ruang hampa bernama masa silam. Menyusut bersama bualan-bualan menyedihkan yang sempat kuagungkan dulu.

Sam, rindu bisa sebegini jahatnya. Merapuhkan harapan, namun malah menebalkan rasa. Mengajak berjalan-jalan ketempat dejavu yang tak bertujuan. Meleburkan harapan dengan kata-kata 'silam'. Bukannya mengurangi rasa, malah melebatkan derita.

Sam, rindu bisa merabunkan. Berkedok sajak indah, padahal menikam dengan kerasnya masa silam. Memaksa kenangan untuk terus diingat, sementara aku telah berusaha keras melenyapkan masa silam. Aku telah dirabunkan, Sam.


Kupikir memang benar, senja telah membuatkanku hujan untuk meredakan gersangnya kerinduan ini. Merangkaikanku sebuah alunan gemercik air penenang suasana hati, walau gigi ini terus beradu karena gigil.
Ia mengingatkanku, bahwa senja tak selamanya oranye.
Juga hati ini, tak melulu bekutat dengan kenangan yang sama.