"FARID FADRI!!!!", suara khas Ibuku bergema hingga kamarku. Mataku masih terpejam malas, tubuh mungilku masih dipeluk selimut tebal. Waktu masih menunjukan pukul 7 dan suara Ibu berteriak-teriak masih terdengar keras diselingi suara cekikikan adik kembarku. Ah sial! Ujarku dalam hati. Aku melangkahkan kakiku ke luar kamar dengan berwajah bantal. Pandanganku masih kabur, dengan setengah menguap aku ke luar dari kamar dan bergegas menghampiri Ibuku yang pagi ini sudah dibuat berapi-api oleh kedua adik kembarku. Aku berjalan lesu ke lantai bawah dan melihat sebuah guci antik milik Ibuku telah menjadi serpihan beling di lantai.
"Siapa yang melakukannya?", tanyaku
"Adik-adikmu!", kata Ibuku sambil membawa sapu dan mengejar-ngejar kedua anak nakal itu, aku membantu membersihkan serpihan beling yang tergeletak di lantai.
"Sini kamu!!", tertangkapnya salah satu adikku, Ibuku menjewernya dengan puas. "Mana saudaramu yang satu lagi?! Tangkap dia atau Ibu jewer lagi telingamu!", kata ibuku, melepas jeweran adikku. Adikku berlari kearah saudara kembarnya sambil menjewernya, mengikuti perlakuan Ibuku kepadanya tadi.
"Sini kamu!!", kata adikku dengan menyeret telinga saudara kembarnya, saudara kembarnya hanya cengengesan. "Tangkap saudaramu atau Ibu jewer lagi telingamu!", kata adikku, sama seperti apa yang ibuku bilang. Mereka berdua tertawa renyah kemudian berlari lagi menghindari omelan ibuku.
"Udahlah Bu.. Namanya juga anak kecil..", ah sial. Aku salah berbicara, malahan aku yang mendapatkan ocehan darinya. Aku hanya bisa pura-pura mendengarkan dan terus bernyanyian dalam hati. Pemandangan pagi hari yang sangat biasa bagiku. Ini sudah terjadi berkali-kali dan membuatku penat.
Ting... Tong...
Suara bel rumahku berbunyi, ada tamu. Aku membuang serpihan belingnya, kemudian berlari kearah pintu ruang tamu. "Sebentaaarrr!!", seruku.
"Hai!", seseorang berdiri dengan merangkul kedua adik kembarku.
"Lho, kamu... Kok bisa sama adik-adik aku?", tanyaku heran.
"Tadi adik kamu lagi main di depan rumah kamu, pas aku masuk pagar rumah kamu, dia langsung nyambut aku.. Jadi ya gini deh..", katanya. Aku masih terheran-heran melihat adikku yang bisa sampai ke halaman depan rumahku, sementara tadi dia masih asyik berlari-larian di lantai atas.
"Tapikan....."
"Ah sudahlah, Happy Anniversary, sayang!", ujarnya. Ah iya, aku lupa memberi tahu. Namanya Galih, kekasihku. Hari ini adalah 2 tahunnya hubungan kami, aku hampir lupa!
"Happy Anniversary too, sayang!", kataku. Galih membuka tangannya, bermaksud ingin memelukku. Aku menolak, "Aku belum mandiiiii, nanti aja yaa meluknya hehehe", kataku
"Kamu mandi atau gak mandi, tetep aja cantik di mataku", Galih bergombal
"Ihh, apa sih...", kataku sambil menamparnya, Galih mengelus-elus pipinya kesakitan, "Masuk dulu sini, tungguin aku mandi"
"Kalo aku ikut kamu mandi aja gimana?", tanya Galih, bergurau.
"Ihh, mupeng!", kataku
"Lho, emang muka aku gepeng ya?", lagi-lagi Galih bergurau. Aku tak menghiraukannya dan langsung pergi ke kamar mandi.
Dia adalah kekasihku. Kekasih terhebatku yang tak pernah memperkenalkanku dengan kesedihan. Dia selalu membawa kebahagiaan dengan tawa candanya. Dia selalu hadir ketika matahari bertemu pada langit cerah, hingga matahari bersembunyi dibalik langit gelap. Dia selalu menyeka air mataku dan menghadirkan gurauan dalam hidupku. Memang matanya tak seindah mata yang digambarkan pada novel-novel remaja, dadanya juga tak sebidang lelaki dewasa yang rajin keluar masuk gym. Tapi dia, tetap kekasihku. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Galih adalah Galih. Bukan lelaki pada novel-novel remaja dengan segala kesempurnaannya, bukan lelaki yang mempunyai motor besar dengan segala kekayaannya, juga bukan lelaki yang jago berbahasa dan sama sekali tak romantis. Dia hanya bisa bergurau, tapi masalah mencintaiku, dia tak pernah bergurau. Dia adalah orang humoris yang selalu menyiapkan guyonannya untukku. Dia tak pernah membuatkan hujan pada mataku, dia selalu membuatkan pelangi yang terbalik pada bibirku.
"Lama banget sih mandinya?", kata Galih setelah aku selesai mandi dan berdandan.
"Mandinya sih sebentar, dandannya yang lama..", kataku sambil mesem-mesem.
"Ah kamu sih gak pinter dandan!", kata Galih, mengejekku.
"Kok gitu sih?!"
"Yang pinter dandan tuh photoshop!", kata Galih sambil tertawa renyah, aku mengikutinya tertawa.
"Jadi, mau kemana kita hari ini?", tanyaku
"Ah jangan nanya kayak gitu, kamu udah kayak Dora aja..", kata Galih sambil menunjukan wajah menyebalkannya.
"Ih, aku serius!"
"Hehehe, iya iya.. Emangnya mau kemana? Orang aku gak ngajakin kamu jalan..", lagi-lagi kata-kata Galih membuat tanganku gatal ingin mencubit perutnya. Baru saja aku mengambil ancang-ancang untuk mencubitnya, dia langsung melanjutkan kata-katanya "Iya iya iya..... Kita ke Monas aja deh!", kata Galih sambil menggandeng tanganku dan keluar dari rumah. Ah menyebalkan, belum saja aku berkomentar tentang tempat yang akan kita kunjungi, Galih langsung menarikku keluar.
Kami pergi bukan dengan mobil mewah dengan lambang macan sedang melompat, melainkan dengan angkutan umum berwarna oranye dan mengeluarkan suara yang sangat bising; bajaj.
"Gimana? Serukan naik bajajnya?", kata Galih setengah berteriak, karena kami masih berada di dalam bajaj.
"Gak sama sekali!", kataku
"Lho, emangnya kenapa? Asik kali! Bisa enjot-enjotan bareng kamu..", kata Galih, aku masih berusaha mencerna kata-kata yang baru saja Galih katakan. Aku diam dan berfikir keras.
"Heh! Jangan mikir yang aneh-aneh! Enjot-enjotan tuh kayak gini.....", kata Galih sambil menggoyangkan tubuhnya dengan cepat, badannya terlihat mengangguk-angguk. Aku tertawa terbahak-bahak, "Tarik maaang!", kata Galih sambil terus mengguncangkan badannya. Aku juga mengikutinya hingga perutku sakit melihat ekspresi Galih saat mengguncangkan badannya.
Kami sampai di Monas. Sebenarnya aku sama sekali tidak setuju dengan tujuan tempat kami ini. Menurutku, monas biasa-biasa saja. Dengan tubuh gagah berwarna sucinya dan menunjukan emas dibagian kepalanya. Kurang lebih sudah satu jam kami mengitari area monas ini, hingga akhirnya aku merasa sangat bosan.
"Kita ngapain sih kesini?", kataku, bosan.
"Ya.. Jalan-jalan.. Katanya kamu mau jalan-jalan.. Nih kita lagi jalan..", kata Galih sambil menunjuk dirinya bahwa kita memang sedang berjalan-jalan; berjalan kaki.
"Aduh Galih.... Maksud aku tuh bukan jalan kaki! Ke tempat apa kek gitu! Yang romantis dikit! Masa 2 kali anniversary berturut-turut kita ke Monas mulu?!", kataku, kesal.
"Ya mau kemana lagi?", kata Galih sambil terus berjalan dengan santai
"Aku mau ke tempat yang romantis!", Galih memberhentikan langkahnya, kemudian memegang pundakku.
"Sayang, mungkin tempat ini memang gak romantis yang kayak kamu kira. Emang tempat romantis menurut kamu tuh yang kayak gimana? Kayak yang ada di novel-novel yang sering kamu baca? Yang banyak lilinnya terus kita makan diantara lilin-lilin gitu? Emangnya kamu gak takut kebakaran gara-gara kita candle light dinner?", kata Galih, lagi-lagi bergurau dengan gaya yang membosankan. Aku melepaskan tangannya yang ada di pundakku. "Kapan sih kamu bisa romantis?! Ngasih bunga ke aku aja gak pernah! Kamu tahu gak sih, temen aku aja udah pernah diajakin candle light dinner, dikasih cokelat, dikasih teddy bear super besar, padahal hubungannya masih seumur jagung! Tapi kita? Kita udah dua tahun! Tapi kita gak pernah namanya candle light dinner, kamu gak pernah ngasih aku bunga, kamu gak pernah ngasih aku cokelat, apalagi teddy bear!", kataku. Kemudian berlalu begitu saja.
Aku kira akan ada yang mengejarku dari belakang, namun ternyata Galih masih berdiri disana. Bahkan semenit setelah aku menengok kebelakang, dia kembali berjalan kearah yang berlawanan denganku. Itulah Galih, tak pernah bisa romantis.
Aku pulang dan membenamkan tubuhku di kasur, kamarku gelap. Sengaja tak kunyalakan lampunya, kubiarkan saja gelap gulita, padahal masih siang hari. Mungkin karena keadaan di luar sedang berawan. Entah ini kali keberapa aku menangis hanya karena masalah sepele.
"DOOOOORRRRRRRR!!!!!"
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!", tangisku berubah menjadi teriakan.
"Ssssssttthhhhhhhhhh...", seseorang membekap mulutku
"Ini aku, Galih!", ternyata Galih.
"Kamu ngapain sih kesini, ngagetin aku aja! Kalo aku jantungan gimana?! Terus nanti kalo aku mati gara-gara dikagetin kamu gimana?! Kamu tuh........"
"Sssthhh..", kata Galih, memberikan telunjuknya pada bibirku. "Aku kesini buat mastiin kalo kamu gak lagi nangis", kata Galih, "Ternyata kamu beneran nangis..", kata Galih.
Saat itu kamarku masih sangat gelap, aku tak bisa melihat wajah Galih, namun tangannya memegang erat tanganku, kuat sekali.
"Udah dong jangan nangis.. Nanti dandanan kamu luntur malah gak keliatan lagi cantiknya..", tangan mungilku menampar pelan pipinya, Galih mengaduh-aduh.
"Aku sadar kok kalo aku gak romantis..", Galih menyeka air mataku. "Aku juga sadar kalo aku gak pernah bisa jadi orang romantis kayak yang kamu mau..", pipiku dipegangnya, "Aku sadar hubungan kita ini beda jauh sama hubungan temen kamu yang masih seumur jagung...", aku diam, terus mendengarkan, "Tapi satu yang harus kamu tau.. Pacaran itu bukan ajang romantis-romantisan.", aku tertegun, "Aku adalah aku.. Gak bisa jadi pacar temen kamu.. Aku gak bisa sok romantis di depan kamu.. Kalo aku sok romantis di depan kamu, jatuhnya malah bullshit. Aku tau kok, kalo kamu gak suka sama orang yang bullshit?", kata Galih, aku menggeleng pelan, "Makanya, aku gak mau bikin kamu gak suka sama aku dengan sok romantis. Aku ngebawa kamu ke Monas juga bukan dengan alasan kok.. Aku ngebawa kamu ke Monas, supaya kamu tau apa yang aku mau..", kini Galih kembali menggenggam tanganku, "Aku mau cinta kita seperti monas, gak akan pernah runtuh walau diterpa badai dan teriknya matahari.."
PLAAAK!
"Aduh?! Kok aku ditampar lagi sih?", Galih kembali mengaduh-aduh
"Aku gak suka gombalan bullshit", kataku sambil tersenyum jahil
"Tuh kan, jatuhnya malah bullshit.. Aku tuh gak pinter ngeromantisin kamu, Ya..", kata Galih, pasrah.
"Lho, kan kamu sendiri yang bilang.. Pacaran itu bukan ajang romantis-romantisan.."
"Jadi kamu maafin aku kan?"
"Kata siapa?! Salah kamu tuh masih banyak! Kamu belum ngasih aku hadiah anniversary, kamu belum meluk aku, kamu belum nyium aku, kamu belum.........", kata-kataku terputus ketika mendengar suara;
PREEETTT....
"IIIHHHH KOK KAMU KENTUT SIH?!", kataku sambil menutup hidung
"Hehehe, maaf abisnya aku jadi kebelet eek pas denger permintaan kamu yang buaaanyaakk", kata Galih, polos. "Hmmm.. Harum lho, coba kamu buka hidung kamu", kata Galih sambil menahan tanganku untuk menutupi hidungku.
"IIIIHHHHH BAUUUU!!!!!!!!", kataku sambil acting muntah.
"Kok bau sih? Ini wangi keromantisan tau! Cium deh", kata Galih, aku berusaha mengeluarkan bau tak sedap ini dari kamarku. Aku mengibas-kibaskan tanganku, berusaha menghilangkan bau kentut dari kamarku. "Kamu minta hadiah anniversary? Nih buat kamu", kata Galih.
"Apaan? Kentut kamu buat aku?! IDDDDIHHHH JOROOKKKK!!!"
"BUKAN KETUT PINTER... Ini nih...", karena kamarku sangat gelap maka aku tak mengetahui ada kotak berwarna merah muda yang Galih kasih untukku. Galih menaruh kotaknya dalam tanganku,"Apa nih?", aku menerimanya, "Nanti aja bukanya", kata Galih. "Ihhh emangnya kenapa? Aku kan penasaran!", kataku, "Udah nanti aja..", kata Galih, aku menurutinya.
Tiba-tiba Galih menyalakan lilin, padahal saat itu tidak sedang mati listrik.
"Kamu ngapain nyalain lilin?", tanyaku
"Udah keliatan kayak lagi candle light dinner belum?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Karena kita gak lagi dinner dan ini bukan malem-malem."
"Oh iya bener, tapi aku udah bisa menuhin permintaan kamu kan mau ngerasain berduaan sama aku make lilin?", kata Galih, aku tertawa terbahak-bahak, "Kok ketawa?"
"Ini lebih mirip kayak orang yang pengen ngepet di siang bolong tau gak?", aku kembali tertawa.
"Berarti kamu yang jadi babinya ya?", kata Galih
"Enggak! Kamu yang babinya!", kataku
"Yaudah gak papa deh, babi kan chubby", kata Galih dengan menunjukan muka sok imutnya. Aku tertawa geli.
"Jadi kamu gak perlu ngerengek minta candle light dinner lagi yaa ke aku.. Ini udah lebih romantis lho daripada candle light dinner... Yakan..?", kata Galih, aku mengangguk setuju.
Keadaan kamarku menjadi sunyi sepi. Seketika Galih memelukku, memenuhi permintaanku, "Happy Anniversary lagi ya sayang", kata Galih, aku hanya menikmati pelukan hangatnya. Kembali mengingat perkataan Galih tahun lalu, dia berkata; "Aku memang senang bergurau, tapi masalah mencintai kamu, aku gak pernah bergurau. Karena aku mencintai kamu dari hari kemarin, hari ini, besok, dan selamanya.", kemudian aku menamparnya. Aku selalu mendaratkan tamparan ketika Galih sedang bergombal, karena menurutku gombal itu bullshit. Takut yang diomongi Galih itu hanya omong kosong, maka aku menamparnya duluan. Takut setelah dibohongi aku tak sempat menampar omong kosongnya itu.
Kecupan manis mendarat pada dahiku, seketika lampu kamarku menyala. Ada seseorang yang menyalahkannya. Kami kaget dan melihat kearah saklar lampu kamarku.
"Mau dong dikecup manja kayak gituuuu...", ah sial! Ternyata kedua adik kembarku sedari tadi berada di kamarku dan menguping pembicaraan kami. Mereka mengikuti gaya Galih saat mengecup keningku, "Muah muah", kata Adikku.
"FARID FADRI!!!!!!!", aku meneriaki nama mereka. Mereka kembali berlari, kabur dari kamarku. Aku ingin mengejar mereka, namun Galih menahanku, "Udahlah, namanya juga anak-anak..", kata-kata Galih sama seperti kata-kataku tadi pagi saat ibuku mengejar-ngejar kedua adikku. Kini aku tahu rasanya dilarang beremosi kepada anak kecil. Menyebalkan!
Aku dan Galih menuruni tangga rumahku, mataku masih mengawasi kedua adik kembarku. Mereka hanya cengengesan sambil memonyong-monyongkan bibirnya. Galih mengelus pundakku, pertanda jangan menghiraukan mereka.
"Ayo Nak Galih, makan dulu.. Ini sudah tante siapkan..", kata ibuku yang sedaritadi sibuk menyiapkan piring-piring di meja makan.
"Iya tante, terimakasih tapi Galih mau pulang dulu aja tantel.. Galih udah kenyang sama ocehannya Alya, hehehe", kata Galih, aku mencubit perutnya. Galih mengaduh tanpa suara. "Ayo ah ikut makan!", aku memaksanya
"Aku harus pulang ke rumah sayang, nanti malam aku balik lagi deh ke sini..", kata Galih
"Mau ngapain sih?", tanyaku
"Mau..... Ah nanti kamu juga tau, udah ya aku pulang dulu.."
"Tapi nanti balik lagi kan?!"
"Iya sayaaang..", Galih mengelus rambutku dan mencium tangan ibuku, kemudian melangkah keluar dari rumahku.
"Ini apa yaaaa?", kata Farid sambil mengetuk-ngetuk kotak berwarna merah muda, "Buka aja yuk Rid!", ajak Fadri. Astaga! Kado pemberian Galih!
"Heh jangan dibuka!!!!", kataku sambil menghampiri kedua anak itu, namun sayangnya mereka kembali berlari sambil membawa kado pemberian Galih. Lagi-lagi aku harus berkejar-kejaran bersama kedua anak nakal ini, lihat saja nanti, akan ku cubit kalian jika aku berhasil menangkapnya! Janjiku dalam hati.
BRAAAKK!!!
Farid terjatuh bersama kado itu. Fadri yang tadinya tidak terjatuh, malah ikut-ikutan pura-pura terjatuh. Dasar anak bodoh. Aku menghampiri mereka kemudian mencubit perutnya hingga akhirnya aku baru tersadar, kadoku telah terbuka. Aku mendapati sebuah figura isi fotoku dan foto Galih yang telah disusun rapi. Aku tersenyum sambil melihat gaya kami berdua dalam foto tersebut. Oh, ternyata masih ada yang lainnya. Ada dua buku yang diberikan Galih, satu tangkai bunga mawar plastik, dan satu boneka teddy bear super kecil. Tak ketinggalan kertas berwarna putih yang bertuliskan tangan dari Galih, berisikan:
Ah, aku bosen ngucapin Anniversary ke kamu. Jadi aku gak usah ngucapin lagi ya? Hehehe. Jangan nangis lagi dong, aku kan udah turutin permintaan kamu.. Aku udah ngajak kamu candle light dinner, ya walaupun kita gak lagi dinner. Aku udah ngasih kamu setangkai bunga mawar, walaupun plastik. Aku gak perlu ngejelasin kan kenapa aku ngasih bunga mawar plastik ke kamu? Nanti aku dikira ngegombal, malah ditampar lagi sama kamu. Aku juga udah ngasih boneka teddy bear kayak yang kamu mau, walaupun kecilnya make banget.. Hehehe, maaf ya aku gak bisa sempurnain semua permintaan kamu.. Kamu harus inget kata-kata aku, pacaran itu bukan ajang romantis-romantisan. Udah deh gitu aja, tangan aku capek nulis ginian. Dadah Alay! Eh, Alya!
Kecup manja, tapi gak usah shikat miring.
Galih.
Aku tertawa membaca surat darinya. Kemudian aku memperhatikan kedua buku yang Galih berikan, dia tak menjelaskan pada surat ini mengapa dia memberikan kedua buku ini. Bukunya ada dua, yang satu novel, yang satunya lagi buku tulis. Novelnya berjudulkan Long Distance Heart. Aku tak mengerti mengapa dia memberikannya kepadaku. Lalu buku tulis ini, saatku membukanya ada sebuah tulisan diujung halaman bertuliskan;
Feeling changes, memories don't.
When he was no longer with me;
Alya.
Halaman-halaman berikutnya kosong, tak ada tulisan sama sekali. Aku menyiapkan banyak pertanyaan untuk kutanyakan kepada Galih nanti malam. Aku mengumpulkan kado darinya lalu kusimpan dalam kamarku. Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar dalam otakku. Aku bertanya-tanya dalam hati, namun hanya rasa penasaran yang menjawabnya.
Malam itu tiba, malam dimana aku, Galih, dan keluargaku makan malam bersama. Galih datang sekitar pukul 7 malam, aku telah menunggunya dari jam 6 sore.
"Kamu kenapa ngasih aku 2 buku itu?", tanyaku saat Galih masih berada di luar pintu rumahku, "Ngh, aku.. Aku...", Galih terbata-bata. "Kenapa?!", aku memaksa, "Aku.. Boleh masuk dulu gak? Soalnya di luar hujan, aku kebasahan gini.. Masa kamu langsung menyandra aku sama pertanyaan-pertanyaan itu sih?", rasa penasaranku membuatku lupa akan suasana di luar. Hari ini hujan turun dengan derasnya, bahkan aku sampai lupa mengkhawatirkan Galih yang kehujanan saat dalam perjalanan.
"Oh iya! Maaf-maaf.. Ayo masuk dulu..", kataku. Aku memberikannya baju ganti karena bajunya basah kuyup.
"Ya.", Galih memanggilku setelah mengganti bajunya.
"Apa?"
"Kamu yang bener aja."
"Yang bener apanya?"
"MASA AKU DISURUH MAKE BAJU KAMU GINI."
Aku tertawa terbahak-bahak melihat Galih memakai baju ketat merah mudaku, wajah Galih terlihat kesal sekaligus pasrah karena aku tak ingin memberinya baju ganti yang lain.
"Lho, kok Galih bajunya........", tanya ayahku saat kami sedang berkumpul di meja makan untuk makan malam, "Tadi bajunya basah kuyup, jadi aku kasih pinjem baju aku deh biar gak masuk angin..", aku yang menjawabnya, "Lho, kok make baju kamu? Pinjemin baju Ayah aja sana!"
"Nah, boleh tuh Om!", kata Galih setuju
"Enggak! Enak aja, tetep make baju yang itu!", aku menolak
"Tapi, Ya....", ayahku memelas, "Udahlah Yah, kapan lagi aku bisa ngerjain Galih?", aku berbisik sambil cekikikan. Aku melihat wajah curiga dari Galih.
Setelah makan malam, aku kembali meminta jawaban atas semua pertanyaan dari Galih. Sebenarnya aku sungkan menanyakan hal ini saat Galih masih memakai baju ketat kepunyaanku itu, maka aku harus terus menahan tawa ketika berbicara kepadanya.
"Jawab Gal...", aku memaksa saat Galih bungkam
"Aku...", Galih terlihat ragu, "Aku mau nerusin kuliah di Italy, Ya.", aku tertegun. Tak bisa bicara apa-apa. "Umh, tapi.. Tapi kita masih bisa calling-callingan kok! Masih bisa smsan, mentionan, bbman, videocall, voicecall.. Jadi kamu gak perlu khawatir, kamu gak boleh ngerasa jauh dari aku..", Galih berusaha meyakinkanku. Aku masih diam, tak menanggapi semua yang dikatakan Galih. Kemudian mata ini hujan, pelangi yang terbalik pada bibirku telah pudar.
"Ya? Jangan nangis dong, Ya.. Aku gak suka ngeliat kamu nangis...", kata Galih, menyeka air mataku. Kemudian memelukku erat, "Aku janji bakal selalu ada buat kamu, Ya.. Aku janji kamu gak bakalan ngerasa sendiri, aku janji Ya.. Aku janji...", kata Galih. Aku tahu itu adalah bagian dari omong kosong yang Galih berikan untukku, namun tanganku tak sanggup untuk menampar pipinya. Galih tahu isi hatiku; aku melarangnya pergi. Namun Galih selalu meyakinkanku, LDR bukan suatu hal yang rumit. Pelukannya bisa meyakinkan hatiku. Pada hari itu, aku percaya bahwa cinta berawal dari ketulusan dan kesetiaan.
"Ya?", Galih memanggilku, aku menoleh kearahnya pertanda bertanya; apa? Namun hanya dalam reaksi mata. "Aku.....", Galih ragu, ".....udah boleh ganti baju yang lain gak? Make baju kamu kayak gini malah ngebuat aku ngerasa kayak ibu-ibu senam hamil.", kata Galih sambil menepuk-nepuk perutnya. Aku tertawa diselingi derai air mata.
"Tiket pesawat?"
"Udah"
"Handphone?"
"Udah"
"Laptop?"
"Udah"
Aku membantu Galih re-packing. Mataku berkaca-kaca, melihat kekasihku akan menimba ilmu di negeri orang; Venice, Italy. "Kamu beneran mau sekolah di sana?", berkali-kali aku menanyakan pertanyaan itu kepadanya. Jawabannya masih sama, "Iya, aku mau sekolah di sana.". Aku tak bisa membayangkan bagaimana malam-malamku tanpa gurauannya.
"Ya... Cuma 2 tahun kok..", kata Galih sambil mengelus rambutku, "Cuma 2 tahun katamu?" kataku, Galih diam, "Apa kamu bisa bayangin gimana aku disini?", wajahku mendung, kembali menangis. "Ya.. Setahun sekali aku pulang kok, aku bakalan ngunjungin kamu terus nanti pas aku pulang..", kata Galih, "Apa nanti pas kamu pulang, hati kamu masih tetap satu untuk aku? Apa kamu gak akan bawa wanita lain selain aku?", mataku tak bisa menahan air matanya, Galih memelukku, "Ya, aku cuma sayang sama kamu. Aku pergi ke Venice buat mencari ilmu, bukan untuk yang lain.."
Jam tangan Galih berbunyi, tepat pukul 5 sore. "Ya, aku harus berangkat ke air port.. Satu jam lagi aku flighting..", aku benar-benar tak kuasa melepasnya. Aku membalas pelukannya, "Jangan lupa kirim kabar ya.. Jangan macem-macem disana, jangan lupa makan makanan yang sehat, jangan makan daging mulu, makan sayur! Jangan suka kentut sembarangan! Malu di negara orang.. aku sayang kamu..", kataku sambil menahan tangis.
"Iya sayang, aku juga sayang kamu", kata Galih sambil mengecup keningku. Aku melihat ada yang terbendung di matanya, namun dia memaksa untuk menahannya. Aku tahu dia juga tak mampu. Ini adalah pelukan dan kecupan terakhirnya setelah dia pergi. Tak akan ada lagi pelukan dan kecupan lainnya, mungkin satu tahun lagi aku akan merasakannya lagi, insyaAllah.
Tiga bulan berlalu. Malam-malam yang kulewati memang benar hampanya. Baru tiga bulan, namun sudah 20 lembar halaman yang sudah kuhabiskan untuk menulisi isi hatiku dalam buku itu. Oh iya, hampir saja aku lupa memberitahu. Galih telah menjelaskan bahwa novel berjudul Long Distance Heart yang dia beri untukku itu berisi tentang how to live LDR, Galih menyuruhku membacanya agar adku semakin yakin bahwa LDR bukan halangan sebuah pasangan untuk bercinta. Dan buku tulis yang dia berikan untukku itu sengaja dia beri untuk mencurahkan isi hatiku saat dia sedang berada jauh di sana. Setiap tahun dari kepulangan dirinya, dia akan membaca buku ini.
Galih menceritakan semuanya sehari sebelum keberangkatannya ke Italy. Ternyata Galih memang telah menyiapkan keberangkatannya sejak 2 bulan yang lalu, namun dia bungkam takut ambekanku berkepanjangan untuk menyuruhnya membatalkan keberangkatannya. Galih adalah galih. Dengan segala prinsip dan keegoisan untuk kebaikan dirinya. Galih selalu memegang teguh prinsipnya dan tidak suka dikecoh meskipun dikecoh dengan Ibunya sendiri. Apalagi denganku.
Baru tiga bulan, Galih sudah disibukan dengan segala macam tugas kuliahnya. Waktu untukku rasanya semakin sempit. Aku takut suatu hari nanti Galih akan melupakanku karena terlalu sibuk. Kekhawatiranku melanda seluruh jiwaku. Menghasut setiap pikiran positifku menjadi pikiran negatif. Ah, rindu ini menggerayangi tubuhku. Membuatku merinding, rindu dipeluk olehmu. Kening ini berkerut, merasakan ada sesuatu yang mengecupnya. Ah, ternyata hanya fatamorgana saja.
Kepergian Galih membuatku ragu dengan semua keyakinan yang telah kubangun bersamanya sejak dua tahun yang lalu. Dulu aku sudah pernah bilang kan, bahwa Galih tak pernah memperkenalkanku dengan kesedihan dan perpisahan. Namun kini aku merasakannya walau Galih tak pernah memperkenalkannya. Perpisahanku yang sementara ini membuatku bisu, tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menantikan datangnya fajar yang mengingatkanku bahwa kamu ada disampingku, membangunkanku saat matahari memucuk. Namun lagi-lagi aku hanya bersugesti. Kamu ada disana, jauh dari pandanganku. Dan kita kini ditengahi oleh jarak, hubungan kita ada diantara sebuah jarak.
Ah iya, ini sudah seminggu. Seminggunya Galih tak memberiku kabar. Kabar terakhir, dia memberitahuku bahwa hendak berangkat ke kampus. Namun hingga sekarang dia tak pernah mengabariku lagi. Keraguanku memuncak, aku memang sudah ragu dari awal bahwa dia akan menemukan hati yang baru di sana. Aku menyesal tak menamparnya saat beromong kosong yang terakhir kali. Aku geram, ingin marah. Tapi tak tahu dengan siapa. Sesakit inikah yang namanya LDR? Harus serapuh inikah aku merasakannya? Aku tak bisa melupakan kata-katanya. "Aku memang senang bergurau, tapi masalah mencintai kamu, aku gak pernah bergurau. Karena aku mencintai kamu dari hari kemarin, hari ini, besok, dan selamanya.". Aku merusak semua benda yang ada di depanku. Berharap ada seorang penenang yang siap menyeka air mataku sambil berkata, "...aku disini buat mastiin kalo kamu lagi gak nangis..". Hingga pada akhirnya aku mengetahui bahwa semuanya hanya omong kosong.
2 bulan sudah Galih meninggalkanku tanpa kabar, tepatnya sudah 5 bulan dia di Venice. Aku selalu mengirimkannya sebuah message setiap harinya, meski tak berbalas. Dan aku tahu, menyiapkan mental untuk menghubungimu duluan itu sulit dan menyakitkan, namun lebih menyakitkan lagi ketika aku sudah berusaha mati-matian menyiapkan mental untuk menghubungimu duluan, tapi kamu tak pernah membalasnya. Rasa gengsi dan rinduku campur aduk, menjadi satu padu dan lagi-lagi aku yang tersakiti di sini.
Drrrt.... Drrrt....
Handphoneku bergetar, ada satu message. Aku yang sedang bermalas-malasan di atas kasur mengambil handphone yang berada di meja samping kasurku dengan badan tetap tengkurap malas.
Hai, sayang. Maaf ya aku baru bisa ngabarin sekarang
Seseorang yang kunamai 'Galih' di handphoneku mengirimku sms. Aku terkejut, beribu-ribu pertanyaan ingin kulontarkan kepadanya. Namun hanya ini yang keluar dari mulutku;
Kemana aja?
Aku mencoba menjawab serelax mungkin.
Aku sibuk nyari bahan kuliah aku nih, kamu apa kabar? Apa rasa sayangnya ke aku masih utuh? Hehehe
Kata Galih.
Baik. Mungkin masih.
Aku menjawab dengan jutek, padahal aku sangat merindukannya.
Jutek banget sih, emang gak kangen ya sama aku? ({})
Kata Galih.
Kangen lah! 2 bulan gak dikabarin gimana gak kangen! Kamu tuh gak punya perasaan ya emang!
Kataku, geram.
Maaf Ya, aku kan udah bilang aku nyari bahan kuliah aku...
Kata Galih.
Emangnya waktu kamu selalu habis buat nyari bahan kuliah? Tau ah!
Kataku.
Jangan marah-marah gitu dong.. Nanti cantiknya ilang.. :(
Kata Galih.
Galih kembali, dengan sejuta alasan mengapa dia meninggalkan aku selama dua bulan. Aku berusaha kembali memperbaiki keyakinanku kepadanya. Begitu juga dia, tak ingin lagi meninggalkanku walaupun ada tugas kuliah dadakan. Tak disangka, ternyata sudah setengah tahun lebih 3 bulan kami menjalani LDR. Segala permasalahan yang menghadapi kami, kami sikapi dengan dewasa. Namun satu yang masih aku herankan, Galih tidak pernah mau ber-videocall lagi denganku, padahal saat baru-baru di Venice dia selalu menghubungiku via videocall. Aku tak begitu memperdulikan itu, yang jelas sekarang Galih tak pernah meninggalkanku lagi.
Tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku bangkit dari kursi meja belajarku dan menghampiri pintu kamarku. Ada Farid dan Fadri ternyata.
"Ada apa?", tanyaku heran. Biasanya Farid dan Fadri tidak pernah ke kamarku, kalau bukan untuk menjahiliku tentunya.
"Apa yaaaa...", jawab mereka, serempak
"Aduh. Rid, Dri. Aku lagi gak pengen diisengin sama kalian. Aku lagi capek", kataku yang mendadak lesu semenjak ditinggal Galih.
"Emangnya mau banget kita kerjain ya, Kak?", ujar Farid, eh Fadri, ah aku tak tahu dia siapa.
"Ah sudahlah!", kataku sambil kembali menutup pintu, "Eh tunggu dulu kak tunggu!", mereka menahan pintuku.
"Ada apa lagi sih?!"
"Ini, ada paket buat Kakak."
"Duh, Kakak udah tau pasti kakak mau dikerjainkan?! Ah udahlah paketnya buat kamu aja!", kataku sambil menggebrak pintu, setelah aku meninggalkan selangkah dari pintu kamarku, terdengar anak kembar tersebut membaca sesuatu.
"Dear, Alay. Eh Alya.
Apa kabar sayang? Semoga baik-baik aja yaa, aku disini kangen banget sama kamu. Kamu jaga diri ya disana, jangan macem-macem mentang-mentang gak ada aku.. Maaf ya aku waktu itu pernah ninggalin kamu sampe 2 bulan hehehe. Sebagai tanda permintaan maaf, aku kasih ini buat nemenin kamu, biar kamu gak ngerasa kesepian lagi..
Kecup manja, gak pake shikat miring.
Galih."
Aku membuka pintu kamarku dan mendapati kedua anak kembar ini sedang jongkok sambil membaca secarik kertas. Aku merebutnya dari tangan mereka, "Mana paketnya?", tanyaku, mereka menunjuk kearah samping kamarku, sebuah benda besar yang diselimuti kertas kado bergambarkan hati. Aku buru-buru membawanya ke dalam kamar.
Aku membaca kembali secarik kertas yang berisikan tulisan....Galih. Ah, tapi tulisannya tidak mirip dengan Galih. Namun aku tak menghiraukannya, aku langsung membuka benda besar yang diberi Galih untukku. Ah, ternyata sebuah boneka teddy bear super besar yang dulu pernah kuminta kepadanya! Aku menangis haru, memeluk boneka itu erat-erat sambil terus memegangi surat yang diberi Galih. Kamu memang tak seromantis lelaki yang digambarkan pada novel-novel remaja, namun kamu tetap romantis apa adanya di hati ini, Lih. Ujarku dalam hati.
Hari yang kutunggu pun tiba, tepat setahun kepergian Galih ke Venice, dan kini saat baginya untuk pulang ke Indonesia. Kami janjian untuk bertemu di sebuah taman dekat rumahku, pukul 4 sore. Dan lagi-lagi aku selalu datang terlalu cepat karena ingin cepat-cepat melihat Galih. Aku memakai pakaian serapi mungkin untuk bertemu dengannya, tak peduli bagaimana penampilan Galih, yang jelas aku harus tampil sempurna di depannya.
Tepat pukul 4 sore.
Ada seseorang yang memberhentikan mobilnya di dekat taman itu. Aku yakin, itu adalah Galih. Jantungku berpacu, berdegup begitu kencang. Menanti seseorang yang telah lama kunantikan, kakiku kugoyang-goyangkan, tanda sedang melting.
Ah! Seseorang mencolek pundakku dari belakang, aku yakin pasti Galih. Aku memeluknya dengan erat. Melepas kerinduanku dengannya tanpa berkata-kata, karena aku tahu Galih pasti tahu apa yang kurasa; rindu yang begitu hebat.
"Umh, sorry..", Galih melepaskan pelukanku, oh tidak, ternyata dia bukan Galih!
"Lho? Eh, maaf-maaf.", aku menahan malu
"Um, gak papa kok..", ujar seseorang itu, lelaki dengan dada membidang dan kulit sawo matang, "Kamu.. Alya ya?", tanyanya
"Iya, tahu namaku darimana?"
"Ah, kenalin namaku Aldy, aku....", dia ragu, "...sepupunya Galih."
"Lho, Galihnya mana?", tanyaku, "Ah, pasti dia mau ngasih kejutan ya buat aku?", aku menyebarkan pandanganku berusaha menemukannya, "Dia emang jahil ya.. Anaknya, ngeselin! Tapi ngangenin juga sih, hehehe", kataku
"Maaf, Alya.", kata Aldy
"Maaf? Untuk apa?", tanyaku, heran. Baru saja berkenalan sudah meminta maaf.
Aldy mengajakku untuk duduk, aku mengikuti perintahnya. Mulutnya membuka, perlahan bercerita. Namun aku sengaja tak mendengarkannya, aku terus menyebarkan pandanganku untuk mencari si kurus tukang kentut sembarangan itu, Galih. Aldy terus bercerita hingga akhirnya dia merangkulku, wajahnya terlihat mendung, tapi memaksa untuk terus tersenyum. Air matanya turun, hingga akhirnya aku sadar, mataku juga hujan. Suara Aldy parau, ceritanya terus mengalir dari bibirnya. Namun aku berusaha untuk tak mendengarkan. Aku menutup telingaku, dalam hati. Sampai akhirnya semua terasa begitu gelap, pandanganku goyang. Wajah Galih lewat di pandanganku, memanggil-manggil namaku. Lalu semuanya gelap.
Hari itu matahari sangat terik, sinarnya memucuk hingga terasa seperti menusuk ke ubun-ubun kepala. Semilir angin bergilir menghembuskan kesejukan, membawa debu, juga suasana biru. Aku memegangi kepalanya, mengelus-elus layaknya dia mengelus-elus rambutku dulu. Aku memegangi tangannya, memegang erat dengan kuatnya. Aku tak ingin melepaskan tangannya. Kemudian aku mengecup keningnya, sama seperti apa yang dia lakukan dulu. Namun semua hanya sugestiku, aku mengecup batu nisan bertuliskan nama Galih Rahardhian.
Kecelakaan yang menimpamu dan membuatmu koma selama dua bulan, membuatku rapuh. Bahkan aku baru mengetahui kepergianmu setelah sembilan bulan pemakamanmu. Ibumu melarangku untuk mengetahui kematianmu, takut aku masih belum menerimanya. Tapi akhirnya semuanya terkuak, tak mengetahui kematian kekasihku sendiri, adalah hal yang paling menyakitkan, ketimbang harus mengetahui bahwa kekasihku mendua. Tak seorang pun yang mengabariku, hingga akhirnya aku harus tahu setelah lebih dari 100 hariannya. Mobil sport yang menabrak tubuhmu saat itu belum menyerahkan diri. Haruskah aku merasakannya saat ragamu berada jauh, tak ada didekatku? Tak ada pesan terakhir yang disampaikan oleh Galih, karena dia bukan lelaki seperti novel-novel remaja. Meninggalkan pesan, saat ingin menghadapi kematian.
Terimakasih, telah mengajarkanku apa arti bahagia di hidupku. Memenuhi 3 tahunku bersamamu dengan gurauan-gurauan merindukan. Terimakasih pula, telah mengajarkanku apa arti kesedihan disela-sela kebahagiaanku. Aku baru mengenal apa arti kehilangan yang sebenarnya. Aku baru tahu, kehilangan orang yang benar-benar aku cintai sebegitu menyakitkannya. Kehilangan orang yang benar-benar aku cintai selamanya lebih menyakitkan dari putusnya sebuah hubungan yang masih seumur jagung. Terimakasih kau telah menahan air mataku untuk tetap terus terbendung dalam kelopak mataku, mengajarkanku untuk tegar dan kuat menghadapi segalanya. Terimakasih kau telah menyeka air mataku disaat aku benar-benar tak kuat menahan air mataku, merangkul dalam kesedihanku sambil berkata "Aku akan terus disini menemani hingga air matamu habis, hingga isak tangismu tinggal ringisan-ringisan kecil, hingga matamu kembali cerah, dan aku siap membuat pelangi terbalik dalam bibirmu".
Terimakasih kau telah menjadi purnama dalam gelapnya hidupku. Terimakasih telah mengajarkanku bahwa pacaran tidak perlu romantis dan egois, hanya perlu ketulusan dan kesetiaan. Terimakasih telah menyadarkanku bahwa semua yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita, juga ada bagian milik-Nya.
Aku menutup buku diaryku yang diberi Galih, satu yang perlu kamu tahu, Lih. Kamu adalah orang paling sok tau yang pernah aku kenal. Kata-katamu dalam halaman pertama buku ini mengatakan, "Feeling changes, memories don't", kamu sok tau. Bahkan perasaanku sampai saat ini masih sama saat pertama kali bertemu denganmu. Masih berbunga-bunga hanya melihat wajahmu mamatung dalam figura. Harusnya kamu menuliskan, "Feeling same, memories also", dalam halaman pertamanya. Ternyata LDR mengajarkanku untuk merelakan kepergianmu.....selamanya.