2/2/13

Kita Dalam Diam


"Jadi kamu ditinggal move on?" Kata Seno yang sedaritadi mendengarkan curhatanku sambil bermain playstation portablenya. 
"Umm.. Lebih tepatnya dia sedang mencari hati yang baru" Kataku sambil memerhatikannya bermain 
"Lalu masalahnya apa?" Kata Seno yang masih fokus dengan playstation portablenya. 
"Masalahnya, jika dia nanti sudah fix pindah hati... Bagaimana dengan aku?" Kataku. 
"Itu bukan masalah Dir. Itu wajar bagi seseorang yang sudah terlalu lelah menanti, lalu pindah kelain hati" Kata Seno.
"Namun, jika aku masih mengharapkannya bagaimana?" Kataku 
"Loh? Dulu kamu kemana saja saat dia mengejar kamu? Jangan bilang kamu jual mahal ya..." Kata Seno
"Kalau kenyataannya memang seperti itu....bagaimana?" Kataku
"Yaampun Dira...... Kalau kamu terlalu jual mahal seperti ini, lelaki seperti apapun akan segan mendekatimu.." Kata Seno 
"Aku mau seperti cabai Sen. Walaupun dijual oleh para pedangang dengan harga mahal, tapi masih saja diminati banyak orang" Kataku 
"Tapi aku mau kamu seperti buah naga Dir. Harganya murah, tapi susah dicari. Artinya kamu susah untuk didapatkan." Kata Seno 
"Bagaimanapun sifatku, tetap saja aku harus menantikan seseorang yang kucintai menyatakan cintanya." Kataku 
"Kalau kamu tidak ingin menanti, pergilah dan carilah seseorang yang lebih pasti daripada dia. Aku rasa kamu akan mendapatkan seseorang yang tidak seharapan dengan harapan kamu" Kata Seno, benar juga.
Sekarang aku terdiam. Merekam setiap omongan Seno yang kian bermakna dan mempelajarinya dalam-dalam. 
"Cinta itu bagaikan magnet yang bisa saling bertolak belakang dan bisa juga saling menarik." Kata Seno, "Jadi kalau hanya salah satu dari kalian saja yang berusaha, ya sama juga bohong." Kata Seno memainkan jari-jarinya pada tombol playstation portablenya.

Kini kesunyian membatasi percakapan kami berdua. Seno pun semakin asyik dengan playstation portablenya. 
"Kalau hanya kamu yang berusaha, jangan dipaksa.." Kata Seno dalam kesunyian. Kini hanya terdengar bunyi game yang sedang Seno mainkan. "Kesempatan memang tak pernah datang dua kali Dir.." Lanjut Seno, aku masih terdiam. 
"Tapi setiap manusia berhak akan kesempatan keduanya. Kesempatan memang hanya datang satu kali, tapi aku yakin setiap manusia pasti bisa berusaha untuk membuat kesempatan kedua mereka." Kataku akhirnya.
"Dir..." Seno meletakkan playstation portablenya, "Kalau kamu selalu mengharapkan kesempatan-kesempatan berikutnya, kapan kamu bisa mengubah sifatmu?" Kata Seno, "Kamu tidak akan pernah mengubah sifatmu karena kamu yakin pasti ada kesempatan-kesempatan berikutnya yang akan dia berikan padamu" jelas Seno 
"Mengubah sifat asli tidak segampang membuang reak Sen. Pasti membutuhkan waktu yang cukup lama." Kataku, kami saling bertatapan. 
"Nah. Untuk mengubah sifatmu saja membutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi untuk mempertimbangkan kesempatan kedua?" Kata Seno. Aku terdiam, setelah jeda beberapa saat aku mulai berbicara lagi. 
"Mungkin aku salah, terlalu menyia-nyiakan kesempatan itu." Kataku, angkat tangan dengan segala pencerahan yang Seno beri. 
"Bukan mungkin lagi Dir, tapi sangat salah" kata Seno, "Kesempatan didapatkan bukan untuk disia-siakan Dir" lanjut Seno. Aku diam. "Sudahlah, jangan berlarut-larut sedih akan kesalahan yang kamu perbuat. Bangkit dan belajar dari kesalahan itu Dir." Kata Seno memberikan semangat.
"Iya Sen, makasih banyak ya.." Kataku 
"Sama-sama Dir. Gantian yang curhat aku, boleh?" Tanya Seno yang ingin berbagi curahan hatinya padaku.
"Kapanpun aku siap mendengarkan Sen" kataku 
"Umm.. Seperti yang kamu tau, penantian itu tidak ada yang menyenangkan.." Kata Seno, membuka curhatannya, "Ceritanya, aku sedang mencintai seseorang yang sedang mencintai orang lain" lanjut Seno, "Aku tahu betul bagaimana perasaan dia kepada seseorang yang dicintainya itu" Seno menatap dengan pandangan kecewa, "Dia selalu mencariku saat dia sedih dan terpuruk karena seseorang yang dicintainya menyakitinya..." Kata Seno mengalihkan pandangannya dari pandanganku, "...dan aku tahu setiap saat dia bahagia, dia lebih memilih bersamanya.." Seno memainkan jari-jarinya, "Walaupun dia hanya menganggapku sebagai 'teman' biasa, yang penting aku bisa sedikit berbahagia karena dia selalu membagi senyuman dan airmatanya kepadaku" kata Seno. Dia diam, aku mulai bicara. 
"Mengapa tidak kamu nyatakan saja cintamu padanya?" Tanyaku
"Harapanku sih seperti itu, namun aku juga melihat situasi dan kondisinya Dir. Biarlah dia mencintai orang lain dulu, mungkin belum saatnya dia bersamaku" kata Seno, tegar. 
"Apa kamu tidak pernah memberinya sedikit kode tentang perasaanmu?" Tanyaku 
"Kalau dia mengerti bahasa kode, mungkin aku sudah mengodenya sejak lama. Sayang, dia masih butuh buku panduan tentang mengartikan kode dengan cepat." Kata Seno, ternyata wanita yang dicintainya tak paham tentang perasaan Seno. 
"Memang susah memberikan kode kepada seseorang yang tidak memahami artinya Sen.." Kataku, "Aku rasa dia mencintai orang yang salah. Harusnya dia bersamamu sekarang", lanjutku 
"Orang yang dia cintai selalu menyakitinya, namun dia tetap bersikukuh ingin tetap mencintainya. Aku yang menantinya dari kejauhan sini saja tak pernah menyakitinya, tapi juga tak sedikit pun diliriknya." Kata Seno
"Suatu saat dia pasti akan sadar Sen. Susahnya dia sekarang sudah menjadi susahmu juga, kamu membantu dia disetiap masalahnya..." Kataku, "...jadi bahagianya dia berarti bahagiamu juga. Apapun yang membuatnya tersenyum walau bukan karena kamu, kamu juga harus ikut bahagia." Lanjutku 
"Iya Dir. Bahagianya bahagiaku juga." Kata Seno 
"Biar waktu yang menjawab semua tentang perasaanmu kepadanya Sen. Aku yakin, dia tak berarti apa-apa tanpamu" kataku 
"Aku harap begitu Dir" kata Seno 
"Lalu, kapan kamu akan menembaknya?" Tanyaku 
"Pastinya disaat dia sudah mulai lelah.." Kata Seno, aku bingung, "...lelah disakiti oleh orang yang dia cintai. Dan sadar kalau hanya aku yang ada disini.." Kata Seno, "Iya.. Hanya aku yang berada disini.. Berdiri tegar membawa segenap harapan akan celah hati yang bisa kumasuki." Kata Seno 
"Jika dia tak pernah lelah disakiti oleh orang yang dia cintai itu, bagaimana?" Tanyaku
"Tidak ada manusia yang tidak lelah disakiti terus-menerus." Kata Seno, yakin.
"Jadi kamu akan tetap menantinya?" Kataku 
"Iya. Sampai kapanpun." Kata Seno 
"Bukannya tidak ada manusia yang tidak lelah jika harus selalu menanti, ya?" Kataku 
"Untuk sesuatu yang kuharapkan sejak lama, mengapa tidak?" Kata Seno, "Selelah apapun, kalau sudah ada niatan dari dalam hati tidak akan terasa rasa lelah itu" kata Seno. Aku diam. Seno juga ikut diam. Aku memikirkan kembali kata-kata Seno yang tidak kenal lelah menunggu cintanya. 
"Memangnya wanita yang kamu maksud itu seperti apa?" Tanyaku 
"Yang pasti, dia adalah wanita yang kuat dan kebal akan segala macam luka yang diberikan oleh orang yang dicintainya." Jelas Seno, "Terakhir kali dia curhat kepadaku, orang yang dicintainya sedang mencari wanita lain." Kata Seno 
"Selingkuhan?" Tanyaku
"Bukan. Mereka belum mempunyai hubungan apa-apa, tapi orang yang dicintainya seakan membuat harapan palsu untuk wanita yang kucintai itu" kata Seno "Jadi bukan selingkuhan, semacam mencari wanita lain yang bisa dijadikan korban harapan palsu lagi" jelas Seno
"Kasihan sekali dia" Kataku, iba. "Mungkin ini saat yang tepat untuk menyatakan cintamu kepadanya" kataku 
"Tapi... Aku ragu. Aku takut dia masih mencintai orang yang sudah menyakitinya itu" kata Seno 
"Sen, memang kamu ini dukun? Bisa menerawang apa yang akan terjadi nantinya. Coba dulu, sebelum tahu hasilnya." Kataku 
"Umm.. Baiklah akanku coba" kata Seno. Dia mengambil telepon genggamnya, dia terlihat sedang mencoba menghubungi wanita yang dia maksud. 
Di ruang lain, terdengar telepon genggamku berdering nyaring. Aku berlari kearah telepon genggamku berada, kulihat layarnya yang menyala. Ternyata ada telepon, dari.... Seno? Hah? Ada apa Seno menelponku? Padahal aku sedang bersamanya sekarang.
"Halo? Sen?" Kataku, sambil berjalan kearah ruangan tempat aku curhat dengan Seno tadi. 
"Seno?" Aku memanggil namanya berkali-kali. 
"Dira.." Terdengar suara Seno dari belakang badanku, aku menoleh. 
"Sen...?" Kataku bingung, aku mematikan telepon genggamku. 
"Will you be my girlfriend, Dir?" Kata Seno, sambil memberikanku sepucuk mawar indah yang masih segar.
"Sen..?" Kataku, tidak menyangka. "Dimana wanita yang kamu ceritakan tadi?" Tanyaku 
"Dia ada didepan mataku Dir." Kata Seno 
"Sen?" Kataku, sangat bingung 
"Wanita yang aku maksud itu kamu Dir.." Kata Seno, "Will you be my girlfriend?" Seno mengulang pertanyaannya
"Sen.. Aku..." Kataku, "I will, Sen" kataku
"Ahh! Serious?!" kata Seno, girang.
"Iya Sen. Aku serius" kataku.
Sebenarnya lelaki yang kuceritakan kepada Seno adalah dia. Iya, dia yang mendengarkan curhatanku. Minggu lalu Seno sempat mendekatiku, namun berhenti sampai disitu saja dan berkata "Aku telah menemukan wanita yang kuidam-idamkan". Dan aku merasa diberikah harapan palsu olehnya. Aku bimbang, antara harus menunggu atau berhenti sampai disini saja. Tapi ternyata wanita yang Seno maksud selama ini adalah aku. Iya, aku yang dicintainya sejak lama.
Ternyata kami saling mencintai sejak lama. Tapi kami tak pernah mengutarakan perasaan kami, kami hanya bisa menunggu. Bagaimana jika kami berdua saling menunggu? Tak ada perasaan yang akan jelas, bukan? Bagaimana jika kami saling mencintai dalam diam? Tak ada yang berani mengutarakan perasaan ini pertama kali. Kadang cinta terasa semu jika tidak ada salah satu dari mereka yang mengutarakan perasaannya.
 I remember…
The way you glanced at me, yes I remember
I remember…
When we caught a shooting star, yes I remember
I remember…
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember…
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
Mocca - I Remember